Senin, 18 Mei 2020

Proses Lebih Mahal dari Sekadar Menang


Banyak dari kita terlalu fokus pada hal-hal besar. Begitu menyukai segala sesuatu yang instan. Padahal di banding dengan semua itu, ada satu unsur penting yang terlupa. Yaitu Proses,, Kenapa manusia penting untuk melewati tahap berproses ini. Karna di dalam fase berproses ada banyak sekali pelajaran yang bisa di dapatkan sekalipun itu bukan suatu hal yang penting atau bahkan sebuah peristiwa yang menyakitkan. Banyak dari kita lupa berfikir sedang di berikan otak dan lupa merada sedang di berikan hati.

Saya mencoba iseng-iseng berhadiah mengikuti Lomba Menulis Cerpen Nasional. Padahal sudah jelas untuk kemampuan saya menulis itu tidak pernah terasah. Tidak sebaik para penulis baru yang ada. Bahkan ketika saya melihat yang masuk ke dalam urutan 100 peserta terbaik dalam lomba sebelumnya, minimal sudah memiliki satu buku yang resmi di terbitkan. Tapi saya mencoba untuk tetap maju karna bukan menang yang saya ingin kejar. Walaupun berharap menang adalah sikap manusiawi yang tidak mengandung dosa di dalamnya. Pada intinya mencoba adalah awal untuk sebuah peluang kemenangan.

Segala proses persyaratan dan pendaftaran sudah selesai, dan mulailah saya mengirim satu cerita pendek yang akan menjadi gacoan untuk bertarung di penjurian nanti. Hingga hari H pengumuman saya masih tidak tertarik untuk gojlok-gojlok admin untuk segera mengeluarkan nama-nama orang yang menang. Sampai munculah beberapa jam kemudian nama-nama Juara 1-10 dan 100 terbesar peserta terbaik. Satu demi satu slide pengumuman saya baca. Tidak percaya diri untuk sekedar masuk dalam urutan 100 terbesar. Karna bisa di katakan.. ini adalah lomba kepenulisan pertama saya. Sedangkan penulis-penulis hebat dia yang sudah melewati sepak terjang di segala platform kepenulisan dalam skala Nasional maupun International.

Hingga retina mata saya menemukan nama yang saya sendiri tau dan tidak menyangka masuk dalam urutan 100 perserta terbaik tahun ini. Aneh.. tapi bahagia. Walapun bukan 1-10 besar, tapi ini adalah sebuah proses yang harus saya jalani. Sebuah pelajaran untuk menilik kelebihan dan kekurangan dalam setiap incinya. Juga kembali menyadari bahwa saya memilik bakat yang sudah sekian lama tidak pernah terasah dan tumpul. Hingga kembali menemukan semangat untuk terus up grade diri agar selalu menjadi pribadi yang mau belajar dan berproses.

Tidak apa-apa saat ini masih masuk Top 100 Cerpen Nasional. Semoga di event selanjutnya bisa masuk ke 40 besar dan 10 besar. Yang tidak kalah penting adalah jangan pernah berhenti menulis.. 😝 *ketampar bolak balik

Selamat Malam dan Jangan Pernah Berhenti Berproses 😉😊

Selasa, 21 April 2020

Novel : RAHASIA #4 (Angin Dahaga)

🎍 Grup LDK KAMMI #07 🎍
___________________________
Mentor Ka Pipit
"Bismillah.. Jangan lupa ya akhwaty fillah. Kita gladi resik tempat sore ini. Jangan ada yang telat. Semoga Allah mudahkan.. #Fighting 👍

Pesan itu masuk ke grup aplikasi chating milik Cahya. Organisasinya mau mengadakan acara Sister Talk Show besok, sekaligus memperingati hari sumpah pemuda. Sudah ada kurang lebih 200 peserta akhwat yang mendaftar. Cahyapun di minta bergabung menjadi kepanitiaan untuk mengurus bagian konsumsi. Sesuai passionnya di bidang kuliner. Tentu ia pesan ke salah satu vendor snack box adik tingkatnya, yang sudah bisa dipastikan rasanya akan menggoyang lidah 200 peserta besok. Dia tidak sempat untuk memasak snack box itu sendiri, karna kesibukan kuliah dan skripsinya.

"Gimana Cahya persiapan snack untuk besok? Kapan di antar?"

Kak Pipit, Ketua Acara besok. Dia orang yang cerdas dan kreatif. Terlebih terlihat mencolok wanita paling aktif di organisasi ini. Hampir semua linear bidang ia bisa paham dan masuk saat diskusi. Terlihat cara dia mengkoordinir semua rangkaian persiapan hingga H-1 sudah biasa management event. Berada di lingkaran rapat koordinasi sore ini saja, semua sudah bisa merasakan jiwa kepemimpinannya mendominasi.

"Besok kak pipit jam 6 pagi sudah di lokasi. Dan ada tambahan 20 box dari ownernya insya Allah." Ujarku.

Cahya memang memiliki attitude yang baik di kampus. Banyak adik tingkatnya yang nyaman dekat dengan Cahya. Selain ramah, tidak sungkan untuk mengajari adik-adik tingkatnya belajar memasak.

"Pit.. anti di cariin Taqy di loby."

Bukannya ini yang hadir akhwat semua ya? Kok Kak Taqy datang. Gumam Cahy dalam hati.

Kak Pipit pun segera meninggalkan lingkaran dan bergegas menuju loby. Dan rumpi pun di mulai..

"Ya Allah.. Kak Taqy bisa ganteng, gagah, sholeh begitu gimana ya? ada lagi nggak si? pingin satuuuu aja.." Ujar Kamila, teman seangkatan organisasi Cahya.

"Bukannya Kak Taqy suka ya sama Kak Pipit? Inget ga sih waktu LDK kemarin? Kak Pipit kesrimpet tali flying fox Kak Taqy khawatirnya kayak apaan tau.. Wkwk" Balas Fifi dengan semangatnya.

"Patah hati berjamaah kita.. haha" Ujar Kamila.

Cahya hanya senyam senyum geli melihat tingkah lucu teman-temannya. Deg-degan untuk acara besok, lumayan terkurangi dengan candaan mereka.

***

Hampir 90% dekorasi tata ruangan sudah selesai. Semua yang di butuhkan sudah berada di lokasi. Sambil mendengar MC mempraktekan gaya berbicara yang bagus dan lugas, Cahya merapihkan beberapa tanaman hias di depan panggung. Ia pun menengok ketika suara Kak Pipit memanggilnya dari belakang. Mengajaknya ke loby karna akan ada yang mau di bahas. ia pun mengikuti Kak Pipit di belakangnya.

Cahyapun kaget ketika ia melihat orang yang di tuju oleh Kak Pipit adalah Kak Taqy, si Ketua Umum Organisasi. Ia pun tidak memahami apa yang sedang ia rasa. Tangannya seketika berkeringat dan hawa berubah menjadi panas.

"Namanya siapa?" Tanya Taqy pada Cahya.

"Cahya Maharani El-Shany Kak Taqy.." Balas Cahya.

"Yang nanya nama panjang anti siapa?" Jawab Taqy sambil senyum-senyum.

Ya Allah.. malunya aku. Gumam Cahya dalam hati.

Ternyata Taqy ingin menanyakan vandor snack adik tingkat Cahya. Karna ikhwan punya acara sendiri 4 hari setelah Acara Sister Talk milik akhwat. Di KAMMI memang hampir sebagian besar acara di pisah antara laki-laki dan perempuan. Dan hanya beberapa kegiatan yang di gabung. Di tengah-tengah pembicaraan Taqy menanyakan dimana Cahya kuliah. Ternyata Taqy pun alumnus dari Politeknik Negri Balikpapan Jurusan Ilmu Komunikasi, sama dengan Cahya. Akhirnya mereka menemukan satu frekuensi awal pembahasan seru antara Cahya dan Taqy.

***
Waktu menunjukan pukul 21.00 WITA, satu persatu kakak pembina dan anggota muda KAMMI meninggalkan lokasi acara. Cahya berdiri di depan gerbang, dengan layar handphone yang menyala di antara kegelapan dan lampu-lampu warung kopi. Memperhatikan gambar mobil Go-Car yang berjalan semakin mendekat ke titik biru. Sudah malam Cahya memilih untuk naik mobil. Karna selain ia bisa sambil enak bersandar, orang tuanya yang melarang Cahya untuk naik angkot jika sudah malam. 

Diin.. din diiiin...

Suara klakson motor dari arah belakang badannya mengagetkan lamunannya. Ternyata Sosok Taqy yang tenyata masih belum pulang. Terihat dari jaket coklat muda berlogo KAMMI yang ia kenakan. Ia pun menarik masker dari wajahnya agar Cahya tau siapa yang memanggilnya.

"Cahya belum pulang?"

"Lagi nunggu Go-Carnya Kak Taqy."

"Oh ya sudah... Fii amanillah (Semoga Allah melindungi) ya ukhti. Assalamualaikum.." Jawab Taqy sambil tersenyum lalu memutar gas motornya.

Ya Allah.. Laki-laki pertama yang manggil aku ukhti. Gumam Cahya dalam hati.

Kriing.. Kriing..

Cahya melihat Hakim memanggil...
"Hallo Assalamualaikum Hakim.."

"Cahya kamu udah pulang? Udah malem.. Mau ku jemput kah?" Ujar Hakim via telfon.

 "Ini mau pulang.. eh itu mobilnya udah dateng. Udah dulu ya Hakim.."

Nuut.. Nuutt.. Nuuut..

Dasar Cahayaku.. Semoga kedepan aku bisa selalu ada buatmu. Gumam Hakim dalam hati.

***
Setelah sampai rumah, Taqy duduk di shofa depan TV sambil scrool-scrool kontak di dalam Grup All Pemuda KAMMI. Dan ia menemukan kontak WA Cahya. Taqy butuh untuk memesan snack box, tapi selain itu ada yang menggelitik di bathin Taqy tentang sosok Cahya. Kok bisa wanita sekalem dan sesholehah Cahya bisa tahan berkuliah di Kampus Teknik yang Taqy tau 80% Mahasiswa Laki-laki dan sangat heterogen pergaulannya.

+628551686xxx
"Assalamualaikum Cahya..." 21.50

Sudah 1 jam lamanya Cahya tidak membuka aplikasi chatingnya. Dan ternyata ia punya kebiasaan untuk mandi dan rapi terlebih dahulu sebelum ia membuka HP setelah pulang kuliah atau kegiatan di luar rumah. Karna agar nyaman dan plong istirahatnya.

"Waalaikumussalam.. Siapa ya?"

+628551686xxx
"Ini ana Taqy, mau minta no kontak vendor snack kemarin."

"Oh iya Kak Taqy... ini kak.
Dek Fina (Onty Cake)
     ---   Kontak   --- "

+628551686xxx
"Baru sampai rumah? Kok baru bales ?"

"Alhamdulillah sudah dari tadi kak.. Tadi mandi sama beres-beres dulu. Jadi baru sempet pegang HP lagi."

+628551686xxx
"Rehat ya Ukh.. Assalamualaikum. 👍"

"Waalaikumussalam wr wb"

Sambil memeluk boneka sapi di sampingnya. Cahya terbesit satu kalimat memalukan dalam benaknya.

Kamu jangan Ge-Er Cahya!

_________*
Hallo sahabat readers semua, ini adalah novel pertamaku. Aku sangat bersyukur bahwa aku masih di beri kesempatan untuk belajar menulis cerita yang lebih panjang dari cerpen-cerpenku sebelumnya. Tentu kritik dan saran dalam penulisan ini, sangat aku tunggu..
Jangan sungkan untuk mengkoreksi tulisanku selagi itu positif. Terima Kasih Banyak 😊😉 

Follow akun aku ya.. agar tidak ketinggalan lanjutan ceritanya. 😙😊

Minggu, 19 April 2020

Novel : RAHASIA #3 (Membuka Hati)


Hakim memarkirkan mobilnya di depan perpustakaan, ia turun dengan sebuah tas kain belanja ditangan kanannya. Sambil memutar-mutarkan kunci mobil Hakim berjalan menuju kelasnya. Sesampainya di kelas dia mengintip ke jendela untuk memastikan Cahya sedang apa di dalam. Ia melihat beberapa teman yang lain sudah sebagian memasuki kelas, termasuk Cahya. Matanya menemukan Cahya sedang mengetik sesuatu di depan laptopnya. Dan yang lebih penting Cahya sedang sendiri. Segera Hakim merapihkan rambutnya pada pantulan jendela. Mencium-cium bau badannya dan sudah wangi. Lalu ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali. Masuklah Hakim kedalam kelas dan berjalan menuju Cahya.

"Assalamualaikum.."

Cahya menatap Hakim heran, dan menjawab salamnya dengan judes.

"Waalaikumussalam, tumben pake salam, Huft."

"Yah illah.. haha. Masih pagi ini neng.. Kamu lagi ngerjain apa Cahya?"

"Benerin mobil Hakim, ya ngerjain skripsi lah.. Gimana tho kamu ini? Lucu banget nah kamu ini. hehe"

"Ini buat kamu Cahya dari mamahku. Ada makan siang buat kamu. Sama beberapa oleh-oleh Palembang buat ibumu."

Cahya heran, sudah lama semenjak Hakim PDKT padanya. Belum pernah ia membawa-bawa ibunya dalam percakapan mereka. Memang Hakim pernah dua kali menyatakan keseriusannya untuk melamar. Pertama ketika sedang makan bakso disebrang kampus bersama teman-temannya. Akhirnya menjadi gelak tawa bahan bercanda oleh yang lain. Yang kedua ketika Hakim dan Cahya menjadi perwakilan kampus untuk mengikuti demo memasak di kecamatan. Karna banyak waktu dan kesempatan berdua. Disela-sela selesai acara, Hakim menyatakan keseriusannya kembali. Agak serius tapi jawaban Cahya selalu sama. Cahya belum mau untuk memikirkan hubungan dengan laki-laki ke jenjang yang lebih serius.

"Makasih ya Hakim.." Ujar Cahya.

"Aku nggak tau Hakim, maksud kamu apa sekarang. Dan aku nggak tau lagi nanti kedepan apa usaha kamu buat aku berubah fikiran. Maafin aku yang susah buat jatuh cinta sama kamu." Gumam Cahya sambil memperhatikan Hakim bercerita tentang temannya yang meminjam laptopnya tapi malah merusaknya. Dan sekarang dia kebingungan mengerjakan skripsinya gimana.

"Adekku bisa benerin laptop, kamu mau kah benerin di adekku aja?" Balas Cahya sebagai tanda terima kasihnya sudah di antar makan siang oleh mamahnya.

"Ya udah boleh.. rumahmu dimana? biar aku yang kesana." Ujar Hakim, ini adalah kesempatan buat dia ketemu sama orang tua Cahya. Siapa tau dengan kenal lebih dekat dengan orang tua dan adiknya. Alih-alih bisa membantu meyakinkan Cahya bahwa ia pantas untuk Cahya.

"Nggak bisa ku bawa aja kah laptopnya kerumah? biar ku kasihkan aja ke adekku." Cahya beralasan. Dia gugup karna dia salah menawarkan ke Hakim. Tapi lagi-lagi ia tepis. Hakim sudah baik sekali dengan Cahya. Tidak ada salahnya kan? Toh mereka hanya berteman saja.

"Aku nggak bawa laptopnya neng geulis.." Rayu Hakim pada Cahya, yang padahal ia tau persis tas laptop beserta isinya ada di mobilnya.

Cahyapun mengambil sobekan kertas dan menuliskan alamat rumahnya dengan lengkap. 

Perumahan Balikpapan Residence, Blok H 3 No 12. Pager warna coklat tua, cat tembok warna abu-abu putih. Didepan ada pot taneman mawar sama cabe. Jangan Nyasar !

Hakimpun tersenyum melihat tulisan di kertas yanh Cahya berikan. Narasi yang singkat. Tapi Hakim berharap, dengan narasi yang sederhana ini bisa memberikan impact yang besar untuknya.

***
Jam menunjukan pukul 16.23. Selesai sholat ashar Hakimpun berjalan menghampiri lemari. Iapun menyortir baju satu persatu. Dan ia tertarik dengan baju koko Nibra's berwarna coklat susu, dengan perpaduan warna broken white yang dihiasi bordiran berbentuk wajik-wajik kecil. Hakimpun bergeser ke kaca, iapun merapihkan rambutnya dengan pomade by Vilain seri Gold Digger, favoritenya. Tangannya meraih laci yang ada di bawah kaca. Ia memilih salah satu jam tangan sport, Eiger Advanture berwarna hitam, ada sedikit warna silver mengelilingi kepala jamnya. Dengan sigap ia bergegas turun kebawah dengan laptop yang ada di tangan dan berpamitan dengan ibunya.

"Mah.. Hakim mau kerumah Cahya dulu ya. Mau benerin laptop ke adeknya."

Ibu Hakim seketika mengernyitkan dahi. Karna Hakim cerita banyak tentang Cahya yang sangat sulit membuka hati kepada putra semata wayangnya. Tiba-tiba sore ini dia bersiap dengan dandanan terbaiknya. Beliau bangga melihat putranya ada kemajuan dalam urusan percintaan. Karna perasaan ibu kepada anaknya itu kuat. Hakimpun mencium punggung tangan ibunya. Ibunya hanya tersenyum, dan berpesan.

"Jangan lupa mampir beli oleh-oleh buat keluarganya ya Dek."

Hakim pun pergi keluar rumah menuju rumah Cahya. Sepanjang jalan, matanya menatap ke arah spion memastikan ia ada di jalur yang benar dan sesekali matanya memastikan wajah dan rambutnya aman. Sambil ia terus berfikir buah tangan apa yang akan ia berikan kepada keluarganya. Lampu sen kirinya menyala, segera mobilnya masuk ke dalam area parkir toko roti bermerek Holland Bakery. Segera ia masuk dan memesan beberapa kue yang ia tau rasanya enak. Satu kantong plastik berisikan kardus dengan berbagai macam bentuk roti dan rasa didalamnya sudah ada di bangku belakang mobilnya. Segera dia menarik napas dan mulai melajukan mobilnya kembali. Tak berapa lama kemudian, hatinya bergumam.

"Suka nggak ya keluarganya sama roti? Kalau ga doyan gimana? Apa gue ganti aja yang lain?"

Karna ragu, Hakim pun berhenti di kedai Martabak Bangka 99. Ia pun memesan martabak manis coklat keju. Karna ketika dulu praktek memasak martabak manis. Dari semua teman-teman sekelasnya memilih rasa yang kekinian, Cahya memilih rasa yang klasik. Coklat Keju, berbeda dengan yang lain ada yang menggunakan topping Green Tea, Thai Tea, hingga Bobba Brown Sugar. Maka Hakim lebih memilih rasa coklat keju. 

Sambil menunggu pesanannya selesai. Hakim memperhatikan ke sekeliling. Mencari siapa tau ada yang bisa ia beli untuk Cahya lagi. Matanya sangat sumringah ketika ada kedai kopi Janji Jiwa beberapa meter dari tempatnya menunggu. Tanpa pikir panjang dia pun berjalan menghampiri dan masuk kedalam. Memesan lima macam es kopi best seller, dan lima macam toast best seller yang mereka punya. Lalu dia kembali mengambil pesanan martabak manisnya dan masuk ke mobil. Sebelum dia berlalu pergi, Hakim pun melihat ke kursi belakang. Dia baru sadar ternyata dia terlalu bersemangat hingga lupa bahwa dia terlalu banyak membeli buah tangan untuk Cahya. 

Biasa banget, bucin gue kumat. Biarin ajalah wkwk Bisik Hakim dalam hati.

***
"Ya Ampuuun.. Hakiiim... Kamu beli apa ini nah banyak banget. Kamu kira keluargaku busung lapar kah?" Teriak Cahya pada Hakim saat membukakan gerbang rumahnya dan melihat Hakim dengan tangan yang penuh dengan plastik di kanan dan kirinya.

"Habis aku bingung keluargamu suka apa, jadi aku beli aja apa yang ada di jalan. Hehe" Balas Hakim dengan tawanya yang tak berdosa.

"Pantes kamu lama.. bilangnya jam empat mau dateng. Ternyata jam lima lewat baru sampai. Ya udah yuk masuk." Ajak Cahya, lalu Hakim pun mengikuti Cahya dari belakang.

***
Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar..

Adzan maghib berkumandang di tengah-tengah obrolan antara Cahya, Hakim dan Ibunya. Hakim pun pamit ingin segera pulang karna sudah gelap. Ia meminta izin untuk sholat maghrib di masjid pinggir jalan raya saja. Namun ibu Cahya menolak, ia meminta Hakim untuk sholat dekat rumah lalu makan malam di rumah Cahya bersama-sama. Hakim merasa tidak elok jika menolak tawaran Ibunya. Ia pun mengiyakan tawarannya dan bergegas keluar untuk mencari masjid terdekat dari rumah Cahya. Cahya yang sedang tidak sholat, segera merapihkan meja makan dan menata aneka masakan dan cemilan yang di siapkan oleh ibunya hari ini. Sambil duduk memperhatikan Sayur Nangka, Ayam goreng dan sambel berserta lalapan. Sedikit dengan perasaan gugup, ia berharap. Semoga Hakim nggak ngomong yang aneh-aneh dengan ibunya nanti.

"Hakim sibuk apa sekarang?" Tanya ibu Cahya.

"Saya lagi sibuk ngurus skripsi aja bu, sambil bikin rencana untuk bisnis apa nanti." Balas Hakim.

"Iya pinter nak.. Biar cepet mapan terus nikah ya.. Udah ada calon belum?" Tanya Ibu Cahya.

"Uhhukkk.. Uhhuukkk.." Suara Cahya tersedak. Ia pun menatap Hakim yang senyum-seyum dan Ibunya yang keheranan tapi setengah khawatir. Cahya pun langsung ambil tindakan agar kegugupannya tidak terbaca oleh ibunya.

"Nggak papa bu.. Cahya ke kamar mandi dulu ya." Ia pun bergegas pergi ke belakang.

"Saya sudah siap menikah bu, tapi Cahya masih belum mau menaruh hati sama saya. Iya bu.. Saya menyukai anak ibu." Jawab Hakim sambil menatap dalam ke mata ibu Cahya.

Suasana makan malampun jadi lebin kikuk dan tegang bagi Cahya. Tapi semua terasa enteng dan lega untuk Hakim. Ibunya? beliau hanya tersenyum dan mengatakan kepada Hakim untuk jangan berputus ada dalam mengejar Cahya, dan jangan kecewa jika taqdir berkata lain. Tapi ibu Cahya menjanjikan satu hal, untuk membantu membujuk Cahya agar mau membuka hati untuk Hakim. Dalam perjalanan pulang, Hakim memegang stir mobil sambil senyum senyum mengingat kelucuan ketika di rumah Cahya hari ini. Setidaknya ia merasa lega, usahanya membuahkan hasil.