Hakim memarkirkan mobilnya di depan perpustakaan, ia turun dengan sebuah tas kain belanja ditangan kanannya. Sambil memutar-mutarkan kunci mobil Hakim berjalan menuju kelasnya. Sesampainya di kelas dia mengintip ke jendela untuk memastikan Cahya sedang apa di dalam. Ia melihat beberapa teman yang lain sudah sebagian memasuki kelas, termasuk Cahya. Matanya menemukan Cahya sedang mengetik sesuatu di depan laptopnya. Dan yang lebih penting Cahya sedang sendiri. Segera Hakim merapihkan rambutnya pada pantulan jendela. Mencium-cium bau badannya dan sudah wangi. Lalu ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali. Masuklah Hakim kedalam kelas dan berjalan menuju Cahya.
"Assalamualaikum.."
Cahya menatap Hakim heran, dan menjawab salamnya dengan judes.
"Waalaikumussalam, tumben pake salam, Huft."
"Yah illah.. haha. Masih pagi ini neng.. Kamu lagi ngerjain apa Cahya?"
"Benerin mobil Hakim, ya ngerjain skripsi lah.. Gimana tho kamu ini? Lucu banget nah kamu ini. hehe"
"Ini buat kamu Cahya dari mamahku. Ada makan siang buat kamu. Sama beberapa oleh-oleh Palembang buat ibumu."
Cahya heran, sudah lama semenjak Hakim PDKT padanya. Belum pernah ia membawa-bawa ibunya dalam percakapan mereka. Memang Hakim pernah dua kali menyatakan keseriusannya untuk melamar. Pertama ketika sedang makan bakso disebrang kampus bersama teman-temannya. Akhirnya menjadi gelak tawa bahan bercanda oleh yang lain. Yang kedua ketika Hakim dan Cahya menjadi perwakilan kampus untuk mengikuti demo memasak di kecamatan. Karna banyak waktu dan kesempatan berdua. Disela-sela selesai acara, Hakim menyatakan keseriusannya kembali. Agak serius tapi jawaban Cahya selalu sama. Cahya belum mau untuk memikirkan hubungan dengan laki-laki ke jenjang yang lebih serius.
"Makasih ya Hakim.." Ujar Cahya.
"Aku nggak tau Hakim, maksud kamu apa sekarang. Dan aku nggak tau lagi nanti kedepan apa usaha kamu buat aku berubah fikiran. Maafin aku yang susah buat jatuh cinta sama kamu." Gumam Cahya sambil memperhatikan Hakim bercerita tentang temannya yang meminjam laptopnya tapi malah merusaknya. Dan sekarang dia kebingungan mengerjakan skripsinya gimana.
"Adekku bisa benerin laptop, kamu mau kah benerin di adekku aja?" Balas Cahya sebagai tanda terima kasihnya sudah di antar makan siang oleh mamahnya.
"Ya udah boleh.. rumahmu dimana? biar aku yang kesana." Ujar Hakim, ini adalah kesempatan buat dia ketemu sama orang tua Cahya. Siapa tau dengan kenal lebih dekat dengan orang tua dan adiknya. Alih-alih bisa membantu meyakinkan Cahya bahwa ia pantas untuk Cahya.
"Nggak bisa ku bawa aja kah laptopnya kerumah? biar ku kasihkan aja ke adekku." Cahya beralasan. Dia gugup karna dia salah menawarkan ke Hakim. Tapi lagi-lagi ia tepis. Hakim sudah baik sekali dengan Cahya. Tidak ada salahnya kan? Toh mereka hanya berteman saja.
"Aku nggak bawa laptopnya neng geulis.." Rayu Hakim pada Cahya, yang padahal ia tau persis tas laptop beserta isinya ada di mobilnya.
Cahyapun mengambil sobekan kertas dan menuliskan alamat rumahnya dengan lengkap.
Perumahan Balikpapan Residence, Blok H 3 No 12. Pager warna coklat tua, cat tembok warna abu-abu putih. Didepan ada pot taneman mawar sama cabe. Jangan Nyasar !
Hakimpun tersenyum melihat tulisan di kertas yanh Cahya berikan. Narasi yang singkat. Tapi Hakim berharap, dengan narasi yang sederhana ini bisa memberikan impact yang besar untuknya.
***
Jam menunjukan pukul 16.23. Selesai sholat ashar Hakimpun berjalan menghampiri lemari. Iapun menyortir baju satu persatu. Dan ia tertarik dengan baju koko Nibra's berwarna coklat susu, dengan perpaduan warna broken white yang dihiasi bordiran berbentuk wajik-wajik kecil. Hakimpun bergeser ke kaca, iapun merapihkan rambutnya dengan pomade by Vilain seri Gold Digger, favoritenya. Tangannya meraih laci yang ada di bawah kaca. Ia memilih salah satu jam tangan sport, Eiger Advanture berwarna hitam, ada sedikit warna silver mengelilingi kepala jamnya. Dengan sigap ia bergegas turun kebawah dengan laptop yang ada di tangan dan berpamitan dengan ibunya.
"Mah.. Hakim mau kerumah Cahya dulu ya. Mau benerin laptop ke adeknya."
Ibu Hakim seketika mengernyitkan dahi. Karna Hakim cerita banyak tentang Cahya yang sangat sulit membuka hati kepada putra semata wayangnya. Tiba-tiba sore ini dia bersiap dengan dandanan terbaiknya. Beliau bangga melihat putranya ada kemajuan dalam urusan percintaan. Karna perasaan ibu kepada anaknya itu kuat. Hakimpun mencium punggung tangan ibunya. Ibunya hanya tersenyum, dan berpesan.
"Jangan lupa mampir beli oleh-oleh buat keluarganya ya Dek."
Hakim pun pergi keluar rumah menuju rumah Cahya. Sepanjang jalan, matanya menatap ke arah spion memastikan ia ada di jalur yang benar dan sesekali matanya memastikan wajah dan rambutnya aman. Sambil ia terus berfikir buah tangan apa yang akan ia berikan kepada keluarganya. Lampu sen kirinya menyala, segera mobilnya masuk ke dalam area parkir toko roti bermerek Holland Bakery. Segera ia masuk dan memesan beberapa kue yang ia tau rasanya enak. Satu kantong plastik berisikan kardus dengan berbagai macam bentuk roti dan rasa didalamnya sudah ada di bangku belakang mobilnya. Segera dia menarik napas dan mulai melajukan mobilnya kembali. Tak berapa lama kemudian, hatinya bergumam.
"Suka nggak ya keluarganya sama roti? Kalau ga doyan gimana? Apa gue ganti aja yang lain?"
Karna ragu, Hakim pun berhenti di kedai Martabak Bangka 99. Ia pun memesan martabak manis coklat keju. Karna ketika dulu praktek memasak martabak manis. Dari semua teman-teman sekelasnya memilih rasa yang kekinian, Cahya memilih rasa yang klasik. Coklat Keju, berbeda dengan yang lain ada yang menggunakan topping Green Tea, Thai Tea, hingga Bobba Brown Sugar. Maka Hakim lebih memilih rasa coklat keju.
Sambil menunggu pesanannya selesai. Hakim memperhatikan ke sekeliling. Mencari siapa tau ada yang bisa ia beli untuk Cahya lagi. Matanya sangat sumringah ketika ada kedai kopi Janji Jiwa beberapa meter dari tempatnya menunggu. Tanpa pikir panjang dia pun berjalan menghampiri dan masuk kedalam. Memesan lima macam es kopi best seller, dan lima macam toast best seller yang mereka punya. Lalu dia kembali mengambil pesanan martabak manisnya dan masuk ke mobil. Sebelum dia berlalu pergi, Hakim pun melihat ke kursi belakang. Dia baru sadar ternyata dia terlalu bersemangat hingga lupa bahwa dia terlalu banyak membeli buah tangan untuk Cahya.
Biasa banget, bucin gue kumat. Biarin ajalah wkwk Bisik Hakim dalam hati.
***
"Ya Ampuuun.. Hakiiim... Kamu beli apa ini nah banyak banget. Kamu kira keluargaku busung lapar kah?" Teriak Cahya pada Hakim saat membukakan gerbang rumahnya dan melihat Hakim dengan tangan yang penuh dengan plastik di kanan dan kirinya.
"Habis aku bingung keluargamu suka apa, jadi aku beli aja apa yang ada di jalan. Hehe" Balas Hakim dengan tawanya yang tak berdosa.
"Pantes kamu lama.. bilangnya jam empat mau dateng. Ternyata jam lima lewat baru sampai. Ya udah yuk masuk." Ajak Cahya, lalu Hakim pun mengikuti Cahya dari belakang.
***
Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar..
Adzan maghib berkumandang di tengah-tengah obrolan antara Cahya, Hakim dan Ibunya. Hakim pun pamit ingin segera pulang karna sudah gelap. Ia meminta izin untuk sholat maghrib di masjid pinggir jalan raya saja. Namun ibu Cahya menolak, ia meminta Hakim untuk sholat dekat rumah lalu makan malam di rumah Cahya bersama-sama. Hakim merasa tidak elok jika menolak tawaran Ibunya. Ia pun mengiyakan tawarannya dan bergegas keluar untuk mencari masjid terdekat dari rumah Cahya. Cahya yang sedang tidak sholat, segera merapihkan meja makan dan menata aneka masakan dan cemilan yang di siapkan oleh ibunya hari ini. Sambil duduk memperhatikan Sayur Nangka, Ayam goreng dan sambel berserta lalapan. Sedikit dengan perasaan gugup, ia berharap. Semoga Hakim nggak ngomong yang aneh-aneh dengan ibunya nanti.
"Hakim sibuk apa sekarang?" Tanya ibu Cahya.
"Saya lagi sibuk ngurus skripsi aja bu, sambil bikin rencana untuk bisnis apa nanti." Balas Hakim.
"Iya pinter nak.. Biar cepet mapan terus nikah ya.. Udah ada calon belum?" Tanya Ibu Cahya.
"Uhhukkk.. Uhhuukkk.." Suara Cahya tersedak. Ia pun menatap Hakim yang senyum-seyum dan Ibunya yang keheranan tapi setengah khawatir. Cahya pun langsung ambil tindakan agar kegugupannya tidak terbaca oleh ibunya.
"Nggak papa bu.. Cahya ke kamar mandi dulu ya." Ia pun bergegas pergi ke belakang.
"Saya sudah siap menikah bu, tapi Cahya masih belum mau menaruh hati sama saya. Iya bu.. Saya menyukai anak ibu." Jawab Hakim sambil menatap dalam ke mata ibu Cahya.
Suasana makan malampun jadi lebin kikuk dan tegang bagi Cahya. Tapi semua terasa enteng dan lega untuk Hakim. Ibunya? beliau hanya tersenyum dan mengatakan kepada Hakim untuk jangan berputus ada dalam mengejar Cahya, dan jangan kecewa jika taqdir berkata lain. Tapi ibu Cahya menjanjikan satu hal, untuk membantu membujuk Cahya agar mau membuka hati untuk Hakim. Dalam perjalanan pulang, Hakim memegang stir mobil sambil senyum senyum mengingat kelucuan ketika di rumah Cahya hari ini. Setidaknya ia merasa lega, usahanya membuahkan hasil.