Siang ini cuaca sangat panas menyengat. Aku merasakan beberapa bulir keringat yang berselancar dari pelipis keningku. Aku melihat ke jendela, ada beberapa bercak sisa cipratan air hujan yang sudah mengering dan terpola oleh debu. Tanganku meraih tissu basah yang berada disalah satu rak kosmetik, tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa sengaja retina mataku bergeser kesebuah kotak berwarna coklat susu, dengan tutup bening diatasnya. Sebuah bros berwarna emas dan berbentuk hati sudah pasti terlihat dari kejauhan. Bibirku tiba-tiba tersenyum, diriku seperti berselancar ke sebuah waktu senja ketika itu..
"Mas belum tau kapan akan kembali lagi ke Malang."
Kami duduk di sebuah bangku besi yang berukiran bunga warna warni. Wajahnya tertunduk sekian detik, dan kembali terangkat dengan senyuman manisnya. Tempat ini hanya berukuran 4x4 meter saja. Dengan 2 bangku panjang terletak di kanan dan kiri juga sebuah air mancur ditengahnya. Berada di dalam taman labirin seluas 10x10 meter. Orang lain masih sibuk mencari pusat taman air mancur taman ini, kami sudah lebih dulu menemukannya.
"Jadi kapan aku di halalinnya?"
Balasku dengan sedikit bercanda tapi berharap dia menanggapinya dengan serius. Tahun ini adalah tahun dimana Mas Yazid berjanji untuk melamarku. Skripsinya sudah hampir selesai, dia mau ketika wisuda aku sudah sah bersamanya di foto.
"Yuk jajan.. kamu mau jajan apa?"
Yah.. betul saja. Lagi-lagi dia mengalihkan pembicaraan. Tapi sulit untukku mengernyitkan dahi, entah mengapa aku tidak bisa marah padanya. Karna sikapnya yang selalu mengistimewakan aku.
Kami berjalan beriringan melihat deretan makanan di food court. Mataku tertuju ke arah Ayam Bebek Pak Boss milik pelantun lagu "Dia".
" Mas, boleh aku jajan yang itu."
"Boleh.. Kamu pesen aja dulu, mas ke toilet dulu sebentar."
Akupun bergegas memesan 2 paket makanan yang sudah include minumannya. Berharap ketika Mas Yazid tiba, makanan sudah tersedia dengan lengkap.
Di sela-sela aku menunggu Mas Yazid datang, tanganku asik menggeser foto-foto yang kami abadikan di beberapa spot foto tadi. Hanya ada 3 foto yang di fotokan oleh orang lain, selebihnya kami menggunakan tongsis. Karna rasanya kurang enak selalu minta di fotokan orang lain, walau pasti mereka dengan senang hati membantu kami. Tapi kami tau rasanya berdeketan dan berpose riang dengan orang tersayang, tanpa tiba-tiba dikagetkan oleh suara orang yang tidak dikenal hanya untuk minta tolong difotokan.
"Hayo.. liatin apa?" sentak Mas Yazin memecah senyumku.
"Biasa deh suka nggak bilang-bilang kalau dateng." Ujarku sambil cemberut.
"Maaf ya.. dari jauh mas liatnya gemeuusshh banget. Yuk makan, keburu dingin kalau ngambek terus."
Sudah bisa nebak kan? Keselku seketika hilang hanya karna digoda dan disuguhkan senyuman manisnya.
Di tengah-tengah kami berbincang tentang kuliahnya di Bogor. Tiba-tiba Mas Yazid merogoh sesuatu di kantongnya. Dengan mata yang terus menatapku, seolah-olah paham dengan ceritaku tentang rumitnya tugas kunjungan mata kuliah antropologi. Sesekali mengangguk-angguk dengan tangan yang kesulitan menarik sesuatu dari kantong jaketnya.
"Apa ini mas?" Tanyaku, karna kaget dan penasaran dengan kotak yang sudah bisa terlihat ada sebuah bros didalamnya.
"Beberapa kali kita ketemu, mas selalu lihat kamu pakai bros yang sama. Mungkin itu bros favoritmu. Tapi mulai hari ini, mas mau bros ini yang jadi favoritmu."
Mas Yazid mungkin tidak tau, aku membeli satu lusin bros dengan bentuk yang sama di tukang grosir karna harganya yang ramah di kantong. Sederhana memang.. tapi sikapnya yang membuatku merasa istimewa berada disisinya. Bukankah memang itu yang di harapkan dari sebuah hubungan? Adanya keselarasan rasa antara dua pihak ?
**
"Jam berapa mau ke pameran buku Asti?" Tanya ibuku sambil mengaduk tehnya di pelataran teras.
"Sebentar lagi Mas Yazid sampai bu. Asti lagi siap-siap sebentar lagi selesai." Ujarku dari kamar.
Aku membolak balikan gantungan kerudung berulang kali, memilih warna yang cocok dengan bajuku dan bros dari Mas Yazid. Dan hatiku tertuju dengan kerudung berwarna coklat susu berbahan silk dengan motif abstrak bunga dan awan. Aku ambil bros itu, dan ku dekatkan ke kain kerudung pilihanku. Seketika wajahku tersenyum. Aku bergegas menyelesaikan serangkaian tahapan pemakaian kerudungku. Sedikit aku variasikan agar terlihat berbeda dari biasanya namun tetap tidak merubah ciri khasku dalam berkerudung.
Tin.. tin..
Aku mendengar klakson motornya dari dalam. Segera ku raih tas andalanku diatas ranjang, dan berjalan cepat ke arah teras berharap mas Yazid tidak lama menungguku.
"Jadi ngunu zid, sing penting fokus. Percaya sama gusti Allah.. Sing penting ikhtiar."
Ku kira aku bakal di sentil karna dandanku yang lama. Ternyata, ku lihat Mas Yazid sedang santai ngobrol dengan ibu sambil mengunyah kue putu yang pagi tadi ku beli untuk hiasan meja makan.
**
Pameran buku terlihat tidak terlalu padat seperti tahun lalu. Tapi cukup ramai. Kaki kami melangkah berjalan melewati dua gapura yang semakin terlihat ukirannya karna sinar mentari lekat dengan nuansa keraton, Taman Krida Budaya. Berbagai stand penerbit buku sudah mulai menjajakan karya terbaiknya, dan dipadati oleh berbagai pembeli yang ingin memuaskan hasrat minat membacanya.
"Mau cari buku apa dek?" Tanya Mas Yazid.
"Buku yang berhubungan sama antropologi budaya mas, buat pengetahuan awal aja si, sebelum kunjungan tugas lusa."
Beberapa buku yang aku dan mas yazid butuhkan dan yang "tiba-tiba" kami butuhkan sudah ada digenggaman tangan. Tidak terasa, langkah kaki kami sama menuju ke warung es kelapa di bawah rerimbunan pohon bringin disekitar pameran buku. Beberapa kesempatan, entah secara kebetulan atau tidak. Banyak sekali kecocokan diantara aku dan mas Yazid
"Besok keretanya berangkat jam berapa mas?"
Kembali esok, aku harus berpuasa melihat raganya. Tidak semua orang bisa kuat dan bertahan dengan hubungan jarak jauh. Aku sudah melewatinya lebih dari 3 tahun. Pantaskah jika aku menagih janjinya untuk melamarku?
**
"Mas, sudah makan kah?"
Tanyaku melalui whatsapp, tapi sudah sejak pagi tadi sampai sore belum ku lihat last seennya berubah menjadi online. Aku paham betul kesukaannya berkutat dengan buku-buku politiknya. Selain Mas Yazid yang memang sedang berposes menyelesaikan Sarjana Ilmu Politiknya. Dia juga memiliki beberapa rumah baca di beberapa titik kota Bogor. Dedikasinya untuk sekitar sangat tinggi, sedangkan aku? Memang antara aku dan mas Yazid yang berjarak 802 Km, sudah bisa di pastikan aku prioritas nomor sekian.
"Bu.. Asti bantu buat botoknya ya?"
Daripada aku menunggu terlalu lama dalam kegalauan menanti balasan pesannya. Aku berusaha mencari kesibukan dirumah yang bisa dikerjakan. Tidak terasa sudah 3 minggu semenjak kepulangan mas Yazid ke perantauan. Aku berusaha membuat hatiku selalu normal berjalan pada porosnya. Rindu...
Pukul 20.00 malam, ketika ibadah terakhir pada hari itu usai. Selesai aku merapihkan buku-buku mata kuliah yang akan aku bawa besok. Aku berjalan ke arah meja rias sambil memegang wajahku, mengingat-ingat sudahkah aku memberinya toner tadi sehabis mandi? Sambil terus mengusap kapas ke berbagai sisi wajah. Tanganku menyentuh logo facebook di layar HP. Ada berita terbaru apa tentang politik Indonesia..
Jariku berhenti untuk berkutat pada beranda facebook, alih-alih mataku tertarik pada logo lonceng notifikasi yang menunjukan angka dua puluh delapan. Alisku tiba-tiba saja mengkerut. Nafasku sedikit, seperti ada yang menahan. Jantungku semakin berdegub kencang. Mata dan otakku berusaha mencari celah kelemahan dari apa yang baru saja aku lihat. Hati.. aku masih punya hati yang belum berkontribusi saat ini. Hatiku berkata ini pasti bukan mas Yazid.
*Ars Adzkiya* Selamat ya teh, sudah halal.. Samawa 😍
* Andi Arsalan* Wah bro.. nggak ngundang2 si? Kapan resepsinya?
*Icha Elshany* Loh.. terus mbak @Asti Dwi Pangestu gimana? bukannya ?
*Hakim Al-Hadad* Baarakallahulakumaa Wabaarakallahu 'alaikumaa wa jama,a baynakuma fil khair. Jodoh itu unik ya bro..
Yang baru saja aku lihat adalah foto mas yazid dengan senyum manisnya berfoto dengan seorang wanita yang aku tidak tau itu siapa. Sekilas aku melihat mereka bahagia dengan memegang buku berwarna merah maroon dan hijau tua di tangan masing-masing. Akal sehatku memberikan perintah pada hatiku untuk mengatakan bahwa apa yang baru saja aku lihat adalah benar keadaannya.
Retina mataku tiba-tiba saja perih dan berair, satu persatu air mulai jatuh melewati pipi dan jatuh melewati dagu. Sekarang, tidak salahkan jika ragaku meminta hak dari hatiku yang hancur. Ku ambil kotak berisikan bros berbentuk lambang cinta itu, ku lemparkan ke arah pintu yang tertempel beberapa susunan foto-foto aku dan mas yazid. Menyusul dengan berbagai barang yang bisa ku jangkau dan ku ingat dimana persis aku menyimpannya.
"Kenapa mbak? kok lempar-lempar.."
Tubuhku tersungkur disisi ranjang dengan tangisan yang sulit dihentikan. Ibu melihat ke lantai begitu banyak barang yang tau siapa pemiliknya tercecer di bawah. Wajahnya terangkat dengan tangan yang masih menggenggam gagang pintu. Sambil terus menatapku, seolah-olah ibu tau siapa dalang dibalik kejadian malam ini.
**
Pagi ini adalah awal dimana para mahasiswa dari berbagai prodi memulai awal tahun ajarannya. Ku periksa lembar demi lembar proposal skripsiku. Ku lihat sebagian besar anak-anak itu berbincang mengenal satu sama lain. Sambil sesekali bercanda dengan di akhiri tawa yang bahagia. Tiba-tiba indra pendengaranku terfokus pada satu sumber suara. Lirih ku dengar lantunan nada dari sebuah lagu yang tak asing olehku..
...
Janjine lungane ra nganti suwe suwe
Pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lungo ra nganti semene suwene
Nganti kapan tak enteni sak tekane
Udan gerimis
Telesono klambi iki
Jroning dodo
Ben ra garing ngekep janji
Ora lamis
Gedhene nggonku nresnani
Nganti kapan
Aku ora biso lali
...
(Banyu Langit, Didi Kempot)
Segera ku masukan proposal dan HPku kedalam tas, karna bel tanda semua mahasiswa harus memasuki kelasnya masing-masing. Segera aku berdiri dan membetulkan kerudungku, lalu ku cantolkan tas di pundak. Akupun mulai melangkah pergi, tak terasa suara alunan lagu itu semakin lama semakin pudar. Sambil sesekali aku menarik nafas panjang. Ya.. sudah satu tahun semenjak kejadian itu. Hingga detik ini, aku masih belum mendapat penjelasan dari seorang laki-laki yang ku panggil, Mas Yazid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar