Rabu, 01 April 2020

Cerita Pendek : Langit yang Mulai Runtuh



“Bang, semangkanya berapa harganya?” 

Suaraku membuat tukang buah yang sedang mengupas nanas itu sedikit kaget. Memang dengan suasana Cibubur yang panas karna terik matahari ditambah proyek jalan tol yang sedang beroprasi, membuat tenggorokan ini terasa lebih cepat kering dan ingin segera melepaskan dahaga.

“Satu potongnya 2 ribu neng, mau yang mana?” Jawab bapak tukang buah itu.

“Dua pak, semangka satu sama nanas satu ya pak.”

Segera beliau bungkuskan pesananku kedalam plastik kresek putih. Sambil aku terus mengunyah semangka yang aku beli tadi, aku mencoba memeriksa HPku karna aku ingat betul ada whatsapp dari walimurid yang belum ku baca.

“Bu Retno, tadi kakak bilang katanya dikasih beng-beng sama ibu. Terima kasih ya bu.. Semoga liburannya menyenangkan.”

Saat ini bukan waktunya libur semester, bukan pula libur tanggal merah nasional. Berita yang saat ini sedang heboh tentang virus Coronalah yang membuat walimurid disekolahku meminta untuk anaknya dikarantina di rumah masing-masing selama satu minggu. Tidak begitu menyenangkan bagiku. Karna jatah uang mengajar, tatap muka, transport dan uang makan akan hilang untuk satu minggu kedepan.

**

Dddrrrtt… drrtttt.. ddrrttttt…

Aku memang tidak pernah memberi nada notif pesan dan telfon pada HPku.  Banyak yang bilang mungkin aku introvert.

“Hallo.. Assalamu’alaikum Mah.”

“Nenok jadi pulang nggak hari ini?”

“Iya jadi mah, nanti sore nenok ke terminal bus.”

Sedewasa apapun kamu saat ini, kamu tetaplah anak kecil di mata ibumu. Nenok.. adalah panggilan semasa aku balita. Ahh… masa kanak-kanak adalah yang terbaik.

**

Aku berdiri diatas trotoar, jalanan terlihat sangat sepi. Hanya ada beberapa truk dan bus yang melintas. Aku juga melihat tukang becak yang sedang tidur diatas kendaraannya. Aku mengangkat tanganku dan ternyata waktu menunjukan pukul 03.05 Pagi. Aku putuskan untuk berjalan kaki kedalam gang, lagipula jarak dari rumah ibuku ke jalan raya sangatlah dekat.

Aku mulai berjalan sambil menghirup udara kota Pekalongan yang bercampur dengan wangi lilin malam dan pewarna batik yang sangat khas dari tumbuh-tumbuhan alami. Tidak sedikit aku melihat kain-kain batik bermotif modern yang berjejer di jemuran kayu-kayu bambu.

Tok..tok..tokk..

“Assalamu’alaikum Mah..”

Terdengar suara langkah sandal jepit yang semakin dekat, di iringi dengan suara sahutan dari balik pintu sambil mencoba membuka pintu yang terkunci.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah.. Sini masuk nak.”

Jalannya yang semakin lambat, suara yang semakin lirih, juga wajah yang semakin menua, dialah ibuku. Tapi senyum diwajahnya tidak pernah berubah, Selalu pas dan menenangkan hati. Tak pikir panjang, aku langsung sambut tangannya yang selalu hangat, dan kukecup punggung tangannya dengan hidungku disertai sedikit hirupan, lalu ku kecup pipinya yang lembab karna sisa air wudhu.

Akhirnya aku kembali pulang..

**

Kudapan yang selalu aku rindukan ketika berada diperantauan adalah mendoan. Entah mengapa mereka memiliki rasa yang berbeda jika disantap di desa. Apakah karna berbeda tangan yang membuat maka berbeda pula rasanya. Atau ini hanyalah sikap lebayku semata.. hehe

Sambil menyobek lembaran demi lembaran hangatnya mendoan, sesekali ku celupkan kedalam mangkuk kecil berisi sambel kecap. Menambah tinggi cita rasa dari sebuah mendoan. Sesekali mataku menatap atap plafon rumah yang terlihat lawas. Banyak bercak-bercak noda basah dari sisa air yang bocor,  beberapa sisi retak dan ada yang bolong.

“Dek, plafonnya udah rusak ya?” Tanyaku pada adik bontot yang sedang asik dengan HPnya.

“Iya mbak, gentengnya bocor. Terus ada kucing di atas, suka lari-lari kejar tikus jadi banyak yang keropos.”

Iseng aku bertanya, “Berapa ya biayanya kalau benerin plafon dek?”

“Kata mamah sih waktu itu sekitar 6 jutaan.”

Hampir aku tersedak potongan kecil tempe mendoan yang aku makan. Dengan percaya dirinya aku bertanya biaya. Ya.. untuk sekelas guru honorer di ibu kota yang pas-pasan. Menabung saja kadang uangnya terpakai untuk hal-hal yang tidak terduga. Aku hanya berbisik dalam hati mengingat realita isi saldo rekeningku.

**

“Mah, nenok mau keluar beli martabak manis dulu sama dek ufi ya mah.” Ujarku pada mamah yang sedang asik dengan tasbihnya, beliau hanya tersenyum dan mengatakan hati-hati dijalan, jangan lupa berdoa. Tidak pernah berubah.. Pesan yang singkat tapi bermakna dalam. Hati-hati karna mamah menunggu kalian di rumah. Dan jangan lupa berdoa. Karna doa pelindung dari kesengsaraan.

Di meja makan kayu berbentuk lingkaran yang sudah usang, kami bertiga melingkar mengelilingi satu buah kotak martabak manis rasa coklat keju, belum di buka saja wanginya sudah menyeruak kedalam hidung kami.

Mamah sambil nyeletuk, “Adekmu ini suka banget martabak manis. Senang banget dia kakaknya pulang di jajanin martabak manis.”

Kamipun tertawa kecil, sambil menikmati gigitan demi gigitan hangatnya potongan martabak manis. Tiba-tiba di atas plafon rumah terdengar suara kucing berlarian mengejar sesuatu, tak lama dari itu terdengar suara sangat keras dari kamar ufi.

Bbrraaakkkkk…

Tak lama setelah suara keras itu, tiba-tiba satu rumah di penuhi debu pekat yang berterbangan memenuhi seisi ruangan dan pengelihatan mataku. Sesekali otakku menerka bau apa ini? Aku mencium ada bau apek debu yang lembab, pesing kucing, kotoran yang sudah beberapa hari tidak di buang. Ternyata atap plafon kamar ufi roboh. Penuh dengan debu, kayu dan pecahan plafon. Beberapa ku lihat menimpa lemari plastik dan meja belajarnya sehingga menyebabkan rusak di beberapa sisi.

Kami bertiga hanya saling bepandangan beberapa detik ke satu arah, ibuku. Martabak manis yang di atas meja? Ah sudahlah.. Tidak akan bisa dimakan. Tak lama, ibupun hanya tersenyum kepadaku dan berkata, “nggak apa-apa.” Seolah-olah beliau paham bahwa yang aku katakan dalam hati adalah, “Mah gimana dong? Maafin nenok.”

“Yuk.. bantu mamah beresin ini.”

Satu persatu, puing-puing pecahan plafon yang terbuat dari gypsum itu aku angkat keluar rumah. Agar besok bisa di bawa oleh bapak tukang sampah. Sesekali ku lihat pandangan tetangga yang menunjukan rasa kasihannya. Aku hanya diam dan fokus membereskan yang ada. Sambil menyapu dan menutup hidugku, aku hanya merasa menyesal karna sampai detik ini aku masih belum bisa memberikan apa-apa untuk keluargaku. Sesekali aku menyeka butiran air yang hampir jatuh. Ku sembunyikan agar ibuku tidak melihatnya. Karna aku tau, beliau tidak akan banyak menuntut kepadaku, dan selalu sama kalimat yang aku dengar jika aku mengatakan belum bisa membahagiakan mamah.

“Mamah sudah sangat bangga dengan apa yang nenok raih saat ini.”

**

“Neng Retno, kumaha liburannya?” Tanya tukang kebun sekolah tempatku mengajar.

“Alhamdulillah seru pisan kang.. Masuk dulu ya kang. Mangga.”

Aku segera bergegas dengan sedikit lari kecil. Karna aku tau, anak-anak sudah melongokan kepala mereka ke jendela. Menanyakan dalam hati, kemana aku?

“Bu Retno..”

Tiba-tiba ada suara yang memecah fokusku menuju kelas. Setelah ku cari dari mana sumber suaranya. Ternyata kepala sekolah yang memintaku untuk mampir sebentar ke ruangannya.

“Bu Retno, ini saya mau mengabarkan bahwa dana sertifikasinya sudah cair. Silahkan di terima ya bu.”

Aku terdiam sesaat, karna aku ingat aku harus masuk mengajar anak-anak.

“Terima Kasih banyak pak Didik. Saya mohon pamit masuk kelas dulu ya pak.”

Sambil berjalan menuju ke kelas, tanpa sadar tangan ini menggenggam amplop berisikan uang itu. Sambil hatiku menerka kira-kira ada berapa isinya. 

**

“Mah nenok sudah transfer uang 6,5 juta ya buat betulin plafon rumah.”

Di sela-sela mengajar kemarin, aku mencuri-curi waktu di belakang meja guru untuk membuka amplop yang baru saja aku terima. Entah rasanya sulit untuk berkata ‘nanti’ pada diri ini. Jari jemariku menghitung lembar demi lembarnya hingga aku tahu uang itu berjumlah 5 juta rupiah. Hampir aku hilang kendali dan menangis. Ini sudah lebih dari cukup.. Sisanya akan ku jual kalung emasku dari masa kuliah. Aku hanya berharap semoga semua itu mencukupi untuk kebutuhan perbaikan plafon rumah.

**

Ku ambil HP dalam kantong baju seragamku. Sambil menunggu hujan reda mungkin aku sempat membalas chat yang masuk selama mengajar tadi.

“Nenok.. Terima kasih ya. Mamah seneng deh plafonnya bagus. Nggak bocor lagi. Rasanya kayak mimpi plafonnya baru. Rasanya kayak di surga. Hehehe.”

Begitu isi pesan dari ibuku saat ku buka.
Mungkin aku akan sangat bahagia bisa menggapai mimpi dan harapanku sendiri. Tapi aku juga belajar bahwa, yang paling membanggakan adalah bisa mewujudkan mimpi dan keinginan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar