Kamis, 26 Maret 2020

"Haruskah Aku Bercerai?" Yuk.. Baca Dulu !


Perbedaan akan selalu lebih terlihat jelas di bandingkan persamaan. Ya, karna yang berbeda itu akan selalu berbeda tidak akan pernah sama. Tapi esensi dari perbedaan bukan perpecahan, tetapi menyatukan. Bukan pula menjadikan seseorang lemah karna perbedaan, akan tetapi menjurus kepada kekuatan. Pada tahun 2017, akumulasi data perceraian di Indonesia mencapai lebih dari 357.000 pasang. Yang artinya ada 42 pasangan dalam setiap jamnya yang memilih untuk mengakhiri perjalanan rumah tangganya. Dan beberapa kasus yang paling sering terjadi salah satunya adalah karna perbedaan yang dominan antar pasangan. 

Sayapun belum menemukan data kasus perceraian di tahun 2018. Apa mungkin karna tahun ini belum berakhir? Miris dan sedih tentunya kita melihat fakta yang terpampang di hadapan kita saat ini. Walaupun tentu, perceraian di luar konteks agama adalah hak asasi manusia, siapa saja berhak dan boleh memilih. 

Ternyata, ketahanan keluarga di Indonesia masih sangat lemah bahkan mungkin cenderung rusak. Saya tepuk tangan meriah, bagi pasangan yang masih mau bertahan dalam menjaga hubungan pernikahan dan mau belajar dalam memperbaiki kualitas diri untuk pasangannya. Karna banyak kasus sepele yang di jadikan argument dalam persidangan. Dan rasa-rasanya sangat membuat lucu dan geleng-geleng kepala. Ternyata, selemah itu hati dan perasaannya. Tentu, kesalahan jalan perceraian ini tidak hanya ada pada kedua belah pihak pasangan. Bisa jadi ada pada keluarga masing-masing yang menjadi pemicu perceraian. Karna tak sedikit pula bercerai itu di desak oleh pihak keluarga masing-masing. Dan pula, dari pengelola setempat yaitu KUA. Yang kurang produktif dalam menjalankan program untuk pasangan-pasangan muda yang hendak menikah.

Saya pun teringat, ketika menikah dulu. Didalam map terselipkan sertifikat seminar pranikah yang di adakan oleh KUA setempat. Seketika sayapun mengernyitkan dahi, emang saya pernah ikut? Untuk meyakinkan pula, saya bertanya kepada suami, “yang, ini apa? Emang kita pernah ikut kok dikasih sertifikat?” suamipun mejawab, “itu mah biasa KUA, program mereka tapi nggak di jalankan. Jadinya asal di bagi-bagiin aja sertifikatnya.” Mungkinkah jika program seminar pranikah di jalankan dengan baik akan berpotensi mengurangi angka perceraian di Indonesia?

Sungguh ini catatan, ternyata semua punya andil, semua punya tanggung jawab kontribusi menjaga keutuhan keluarga Indonesia. Saya dan suami sungguh beruntung, sudah mengikuti seminar-seminar pranikah yang di adakan oleh beberapa lembaga kompeten. Bahkan seminar pascamenikah yang di bawakan oleh pak Cahyadi Takariawan pun sudah kami lahap. Tentu, tidak mudah berpuas diri, kedepan sampai kapanpun. Menjadi jiwa pembelajar harus tetap di hadirkan dalam setiap jengkal kehidupan.

Siapapun anda, perbedaan dan konflik yag tertuang dalam rumah tangga. Tidak seharusnya menjadi awal dari kita memilih jalan berpisah. Karna tidak ada satupun dari kita yang sempurna, tidak satupun dari kita yang serba bisa. Maka sejatinya, seperti yang sudah seringkali kita dengar. Pasangan hidup itu saling menyempurnakan, saling melengkapi. Tetapi adapun dalam prakteknya sering kita menemukan kesulitan. Maka, teruslah berbenah diri, teruslah belajar, teruslah saling membutuhkan.

“Bersabarlah, di atas kesabaran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar